Sosok KH Ahmad Sanusi Pahlawan Nasional Asal Sukabumi Jawa Barat
Biografi KH. Ahmad Sanusi
KH. Ahmad Sanusi dilahirkan pada tanggal 03 Muharam 1036 H (18 September 1889) hari kamis, di Kampung Cantayan, Desa Cantayan, Kecamatan Cantayan, Kabupaten Sukabumi. Dan meninggal pada tanggal 15 Syawal 1369 H (1950) dalam usia 64 tahun. Ahmad Sanusi adalah putra ketiga dari KH. Abdurrahim bin H. Yasin yang merupakan keturunan dari Syekh Abdul Muhyi penyebar Islam di daerah Tasikmalaya.
Ahmad Sanusi mendapat pendidikan agama pertama secara tradisional dari ayahnya. Setelah menginjak dewasa, ia melanjutkan pendidikannya ke beberapa pondok pesantren di Jawa Barat seperti Cianjur, Garut dan Tasikmalaya. Hal ini untuk memperdalam pelajaran agama, juga untuk menambah pengalaman dan memperluas pergaulan dengan masyarakat. Setelah merasa cukup menimba ilmu di tanah air, kemudian Ahmad Sanusi berangkat ke Makkah untuk menjalankan ibadah haji serta melanjutkan pendidikannya selama lima tahun
Selama berada di Makkah Ahmad Sanusi berguru keapada ulama-ulama besar yang ada di Makkah, antara lain Shaikh Ṣālih Bafāḍil, Shaikh Alī Malikī, al-Ṭayyibī dan lain-lain yang umunya berguru kepada ulama yang bermadzhab Shāfi’iyyah. Selama di Makkah Ahmad Sanusi juga berkenalanan dengan tokoh pergerakan Indonesia seperti KH. Abdul Halim (tokoh pendiri PUI Majalengka), dan Raden Haji Abdul Muluk (tokoh SI).
Setelah belajar di Makkah, Ahmad Sanusi kembali ke pesantren Cantayan untuk membantu ayahnya mengajar para santri, Setelah mengabdi di pesantren Cantayan, KH. Abdurrahim mendorong Ahmad Sanusi untuk mendirikan pesantren di kampung Cantayan, yang dinamakan Pesantren Babakan Sirna. Di pesanten yang didirikannya Ahmad Sanusi menjadi seorang Kyai yang produktif dalam menulis, beragam disiplin keilmuan Islam, dari masalah, fikih, tauhid, tasawuf, dan tafsir al-Qur’an pernah ditulisnya. Beberapa karya yang beliau diantaranya adalah Tahdīr al-Awām min Mardiyyah fī Mukhtasir al-Furu’ al-Shāfi’ī, Al Lu’lu’ al-Nadīd, Malja’ al-Ṭālibīn, Rauḍat al-Irfān fī Ma’rifat alQur’an, Tamshiat al-Muslimīn, Tafsīr Sūrah Yāsīn dan Sirāj al-Azkiyya.
Sebagai seorang pemikir dan pejuang yang gigih dalam menentang kekuasaan Belanda, Sanusi juga terlibat dalam merumuskan berdirinya negeri, Sanusi diangkat sebagai anggota BPUPKI dan berjuang dengan sejumlah tokohtokoh lainnya seperti, KH. Wahid Hasyim, Moch. Yamin dan lainnya. Selain itu Sanusi diangkat menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat, anggota Dewan Penasehat Daerah Bogor (Giin Bogor Shu Sangi Kai), Wakil Residen Bogor (Fuku Syucokan), beliau juga yang membentuk Tentara PETA (Pembela Tanah Air), BKR (Badan Keamanan Rakyat) Sukabumi, KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Kotapraja Sukabumi dan bersama Mr. Syamsuddin diangkat sebagai pengurus Jawa Hokokai (Kebangkitan Jawa).
Di samping menjalankan tugasnya sebagai kyai pesantren, Ahmad Sanusi juga terlibat dalam kegiatan politik dengan menjadi anggota Sarikat Islam Cabang Sukabumi dan pendiri organisasi AII (Al-Ittihād al-Islāmiyah) yang dibubarkan oleh Jepang, tetapi kemudian berdiri kembali dengan nama Persatoean Oemat Islam Indonesia (POII) dan sekarang menjadi Persatuan Umat Islam (PUI).8 Ahmad Sanusi wafat pada umur 63 tahun di Pesantren Gunung Puyuh, beliau mendapatkan pengahargaan sebagai perintis kemerdekaan dari Pemerintah Republik Indonesia melalui presiden Soeharto, Bintang Maha Putra Adipradana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 10 November 2009.9 Namanya diabadikan oleh Pemerintah Kota Sukabumi menjadi salah satu nama Terminal dan jalan di kota Sukabumi, yang menghubungkan antara jalan Cigunung sampai dengan Degung dengan nama jalan KH. A. Sanusi.
Latar Belakang Pendidikan KH Ahmad Sanusi
Sejak usia tujuh tahun Ahmad Sanusi menuntut pendidikan keagamaan pada ayah kandungnya sendiri yaitu KH. Abdurrahim, demikian pula keterampilan menulis Arab dan Latin. Menginjak usia 17 tahun, Sanusi mulai belajar lebih serius untuk mendalami pengetahuan agama Islam, ia mulai belajar agama dari satu pesantren ke pesantren lain yang ada di Sukabumi maupun di luar Sukabumi. Adapun pesantren yang pernah dikunjunginya adalah:
- Pesantren Salajambe Cisaat pimpinan KH. Muhammad Anwar/ Ajengan Sholeh, lamanya mondok lebih kurang selama delapan bulan.
- Pesantren Sukamantri (Cisaat, Sukabumi) berguru kepada KH. Muhammad Siddiq kurang lebih selama dua bulan.
- Pesantren Sukaraja (Sukaraja, Sukabumi), pimpinan Ajengan Sulaiman, lamanya mondok sekitar enam bulan.
- Pesantren Cilaku (Cianjur) belajar ilmu tasawwuf selama dua belas bulan.
- Pesantren Ciajag (Cianjur), lamanya mondok di Cianjur selama lima bulan.
- Pesantren Gentur di Desa Jambudipa Kecamatan Warongkondang Cianjur, pimpinan KH. Ahmad Shatibi, lamanya mondok sekitar enam bulan.
- Pesantren Buniasih (Cianjur), lamanya mondok sekita tiga bulan.
- Pesantren Keresek (Garut), pimpinan KH. Nahrowi yang pernah belajar pada Kiai Kholil Bangkalan Madura. i. Pesantren Sumur Sari (Garut) sekitar empat bulan.
- K.H. Suja’i (Mama Kudang) di pesantren Kudang Tasikmalaya, lamanya mondok sekitar dua belas bulan.
Dari sekian banyak pesantren yang dimasuki Ahmad Sanusi, yang paling berkesan di hati Ahmad Sanusi adalah ketika mondok di pesantren Gentur yang di pimpin oleh K.H. Ahmad Shatibi. Kesannya itu muncul karena KH. Ahmad Shatibi memiliki sikap terbuka dan toleran terhadap para santrinya. Sikap tersebut diperlihatkan oleh KH. Ahamd Shatibi yang tidak keberatan atas perbedaan pendapat antara dirinya dan santrinyadalam menafsirkan Ilmu Mantīq (Logika),
Selama empat setengah tahun lebih Ahmad Sanusi mencari ilmu di berbagai daerah, ia memutuskan untuk kembali ke Sukabumi atas saran dari KH Suja’I yang memerintahkannya untuk pergi ke Pesantren Babakan Selawi Sukabumi dibawah pimpinan Ajengan Affandi. Dipesantren inilah Ahmad Sanusi mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Siti Djuwariyah
Pada tahun 1910 Ahmad Sanusi pergi ke Mekkah bersama istri yang baru dinikahinya, di Makkah Sanusi melanjutkan belajar ilmu agama kepada para ulama seperti Shaikh Alī al-Malikī, Shaikh Alī al-Ṭayyibī, Shaikh Ṣāliḥ Bafaḍal, Sa’id Jawāni, Shaikh Zainī Daḥlān, Ḥaji Muḥammad Junaidi (Shaikh asal Garut, Jawa Barat), Shaikh Ḥaji Abdullah Jawwī dan Shaikh Ḥaji Raden Muh. Mukhtar bin Aṭārid al-Bughurī, Mereka adalah ulama bermadzhab Shāfi’iah.13 Selain menimba ilmu dengan ulama-ulama Makkah, Ahmad Sanusi telah mengenal tulisan para tokoh pemabaru, seperti Muhammad Abduh dan Rashid Riḍā.1
Setelah selesai memperdalam ilmu keislamannya di Makkah, pada bulan Juli tahun 1915, Ahmad Sanusi kembali ke pesantren Cantayan. Setelah mengabdi sebagai pengajar di pesantren Cantayan, KH. Abdurrahim mendorong Ahmad Sanusi untuk mendirikan pesantren di kampung Genteng yang dinamakan Pesantren Babakan Sirna. Santri pertama Ahmad Sanusi adalah santri-santri ayahnya yang ikut membuka pesantren baru. Di pesantren Genteng Ahmad Sanusi sering menyelenggarakan diskusi mengenai persoalan pemikiran keagamaan yang berkembang saat itu termasuk dengan gerakan pembaharuan dan pemikiran keagamaan
Latar Belakang Karir Intelektual
Aktif di Sarekat Islam (SI)
Ketika Sarekat Islam berdiri dan berkembang di Sukabumi, Ahmad Sanusi sedang berada di Makkah. Selama di Makkah diperkenalkan dengan H. Abdul Muluk dari Majalengka, Pada saat itu Haji Abdul Muluk memperlihatkan statuten (Anggaran Dasar) Sarekat Islam (SI) serta mengajaknya untuk bergabung dengan Sarekat Islam (SI). Ahmad Sanusi bersedia bergabung dengan Sarekat Islam karena organisasi tersebut di pandang memiliki tujuan yang baik, yakni tujuan akhirat dan tujuan duniawi.
Pada tahun 1915, Ahmad Sanusi pulang ke kampung halamannya di Cantayan Sukabumi, Ahmad Sanusi didatangi oleh H. Sirod seorang Presiden Sarekat Islam Lokal Sukabumi dan diminta untuk menjadi penasihat (adsiver) Sarekat Islam Cabang Sukabumi. Akan tetapi, jabatan itu hanya dipegang selama sepuluh bulan, Ahmad Sanusi mundur dari jabatannya itu karena dua hal:
- Sudah tidak dapat mengerti lagi arah perjuangan Sarekat Islam.
- Merasa dikhianati oleh pengurus Sarekat Islam Sukabumi karena persyaratan yang diajukannya ternyata sama sekali tidak dijalankan oleh pengurus Sarekat Islam Sukabumi.
Meskipun sudah tidak aktif di Sarekat Islam, Ahmad Sanusi masih terus menjalin hubungan dengan organisasi itu melalui para santrinya yang menjadi anggota Sarekat Islam. Selain itu juga masih diundang dalam rapat-rapat terbuka Sarekat Islam Cabang Sukabumi
Mendirikan Al-Ittiḥādiyat al-Islāmiyyah (AII)
Para ulama pengikut Ahmad Sanusi menggelar pertemuan di Babakan Cicurug dipimpin oleh KH. Muh. Hasan Basri yang berkeinginan untuk membentuk sebuah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, organisasi tersebut diberi nama Al-Ittiḥādiyat alIslāmiyyah. Hasil pertemuan di Cicurug tersebut kemudian di sampaikan kepada Ahmad Sanusi yang pada saat itu masih dalam pengasingan. Oleh karena itu, mereka mengutus Dasuki ke Batavia untuk mengutarakan hasil pertemuan Cicurug sekaligus meminta Sanusi untuk menjadi ketua umum organisasi. Setelah mendapat penjelasan dari Dasuki, Sanusi bersedia menjadi vootziter (ketua) organisasi tersebut.
Rapat pertama diadakan pada tanggal 21-22 November 1931 di Batavia Centrum. Dalam rapat itu, selain menetapkan nama organisasi AlIttiḥādiyat al-Islāmiyyah (AII), menyusun pengurus Hoofdestuur, juga menetapkan kantor pusat di Tanah Tinggi No. 191, Kramat Batavia. Adapun kegiatan utama AII adalah menyelenggarakan pengajianpengajian, tablig-tablig, dan mendorong para kyai untuk mendirikan madrasah-madrasah. Upaya lain yang dilakukan Ahmad Sanusi adalah mendirikan dan mengelola Pesantren, sekolah, rumah sakit, yayasan anak yatim-piatu, koperasi, toko dan bait al-māl.
Dalam tempo yang relatif singkat telah berdiri dua puluh enam cabang yang tersebar di seluruh Jawa Barat (Pasundan) dan dua cabang lainnya terdapat di Jakarta. Organisasi ini juga menerbitkan majalah bulanan yang diberi nama Attabligh al- Islām dan majalah Al-Hidāyat al-Islāmiyah.
Menjadi Tahanan dan Diasingkan
Pada bulan Agustus 1927 terjadi insiden perusakan dua jaringan kawat telepon yang menghubungkan Sukabumi, Bandung, dan Bogor. Peristiwa tersebut dijadikan bukti dan alasan pemerintah Hindia Belanda untuk menangkap dan menahan Ahmad Sanusi, karena jaraknya tidak. jauh dengan pesantren Genteng. Setelah itu, beliau dimasukkan ke penjara Cianjur selama 9 bulan sampai bulan mei 1928, dan selanjutnya dipindahkan ke penjara Kota Sukabumi sampai bulan November 1928.
Selama sebelas bulan Ahmad Sanusi diperiksa secara ketat oleh Pemerintah Belanda, tetapi tidak ada satu pun bukti yang menyatakan bahwa dirinya terlibat dengan peristiwa perusakan jaringan telepon tersebut. Gubernur Jendral B.C. de Jonge tetap mengeluarkan keputusan untuk mengasingkan Ahmad Sanusi ke Tanah Tinggi di Batavia Centrum. Hal tersebut untuk menjaga ketentraman umum, karena pemikiranpemikiran Ahmad Sanusi dianggap memiliki potensi untuk menumbuhkan semangat revolusioner dan nasionalisme bagi masyarakat. Selanjutnya sejak itu Ahmad Sanusi diasingkan ke Tanah Tinggi Senen Batavia Centrum.
Selama mendekam di penjara dan di asingkan Ahmad Sanusi tidak mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan, karena biaya hidupnya dibantu oleh H. Abdullah. Selain itu, Ahmad Sanusi tidak terpuruk menyesali keadaaanya, melainkan bangkit dan semangat untuk menunjukkan dirinya sebagai ulama produktif dalam menulis kitab. Kitab yang ditulis kebanyakan merupakan permintaan masyarakat luas untuk membahas dan mengkaji permasalahan yang berkembang saat itu.
Menjadi Anggota BPUPKI Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Beranggota 67 orang yang terdiri dari 60 orang tokoh Indonesia serta 7 orang anggota Jepang dan minoritas nonIndonesia tanpa hak suara. Pada sidang yang kedua tanggal 10 Juli-17 Juli, Jepang menambah 6 orang anggota bangsa Indonesia.22 Ahmad Sanusi diangkat oleh Jepang sebagai wakil residen di Bogor dan kemudian diangkat menjadi anggota BPUPKI.23 Ahmad Sanusi menempati kursi nomor tiga puluh enam bersebelahan dengan R. Soekardjo Wirjopranoto. Keberadaan KH. Ahmad Sanusi di BPUPKI tidak hanya sebatas duduk dan mendengarkan para pemimpin bangsa melontarkan ide-idenya tentang negara Indonesia merdeka.
Pernyataan penting Ahmad Sanusi dalam sidang-sidang BPUPKI terdapat pada sidang pleno 10 Juli 1945, ketika membahas bentuk negara kelak setelah Indonesia merdeka. Adapun Inti usulan Ahmad Sanusi tentang bentuk negara Indonesia adalah imāmat yang tidak lain adalah bentuk republik.