Banyaknya berita yang tidak jelas sumber dan medianya sudah menjadi konsumsi publik saat ini. Tentu sebagai seorang jurnalis harus mengerti dan mengikuti kode etik, terlebih pada era digital saat ini. Pada tulisan ini akan membahas mengenai kode etik dan etika jurnalisme online.
Kode Etik Jurnalisme Online
Nicholas Johnson mantan Komisioner Komisi Komunikasi Amerika Serikat (AS) dan penulis buku How to Talk Back to Your Television Set yang juga Dosen Ilmu Hukum di Iowa College of Law (AS), memberikan catatan hal-hal mendasar tentang kode etik dalam penulisan jurnalistik online :
- Dilarang menyerang kepentingan individu, pencemaran nama baik, pembunuhan karakter atau reputasi seseorang.
- Dilarang menyebarkan kebencian, rasialis, dan mempertentangkan ajaran agama.
- Larangan menyebarkan hal-hal tidak bermoral, mengabaikan kaidah kepatutan menyangkut seksual yang menyinggung perasaan umum, dan perundungan seksual terhadap anak-anak.
- Dilarang menerapkan kecurangan dan tidak jujur, termasuk menyampaikan promosi atau iklan palsu.
- Larangan melanggar dan mengabaikan hak cipta (copyright) dan Hak Atas Karya Intelektual (HAKI, atau Intelectual Property Right/IPR).
Sementara itu, Cuny Graduate School of Journalism yang didukung Knight Foundation melalui halamannya di http://www.kcnn.org mencatat 10 langkah utama bagi cyber journalist termasuk kalangan citizen journalist dan blogger supaya terhindar dari masalah hukum, yakni:
- Periksa dan periksa ulang fakta,
- Jangan gunakan informasi tanpa sumber yang jelas.
- Perhatikan kaidah hukum
- Pertimbangkan setiap pendapat,
- Utarakan rahasia secara selektif,
- Hati-hati terhadap apa yang diutarakan,
- Pelajari batas daya ingat,
- Jangan lakukan pelecehan,
- Hindari konflik kepentingan,
- Peduli nasehat hukum.
Etika dalam Jurnalisme Online
Kemunculan digital, komputer, atau jaringan teknologi informasi dan komunikasi sebagai media baru format digital, seringkali memiliki karakteristik dapat dimanipulasi, bersifat jaringan, padat, mampat, interaktif dan tidak memihak. Secara sederhana media online adalah media yang terbentuk dari interaksi antara manusia dengan komputer dan internet secara khususnya. Termasuk di dalamnya adalah web, blog, online social network, online forum dan lain-lain yang menggunakan komputer sebagai medianya.
Jurnalis-jurnalis yang masih punya komitmen dalam meletakan kode jurnalistik dapat diapresiasi dengan menegakkan independensi untuk menyajikan berita kepada masyarakat. Ketaatan pada hukum atau pada kode etik professional tidak selalu melahirkan tindakan moral. Etika adalah persoalan individual yang berhubungan dengan kesadaran. Penggunaan berita untuk dikumpulkan dalam sebuah portal/web jelas tidak sesuai dengan etika media karena mereka tidak memproduksi sendiri konten yang akan di unggah dalam portal/web. Merujuk pada beberapa kaidah hukum, persoalan ini sebenarnya bisa di proses melalui proses persidangan. Namun, payung hukum yang ada belum tentu bisa menjembatani antara para pihak yang dirugikan maupun yang diuntungkan.
Bagaimanakah implikasi yang timbul terhadap etika tatkala berhadapan dengan perkembangan perubahan yang berlangsung begitu cepat di era teknologi komunikasi dan informasi dewasa ini? Di samping itu, ada pula kenyataan bahwa tidak semua pihak sungguh-sungguh berkehendak dan konsisten untuk menegakkan etika dalam berjurnalisme. Gejala tersebut merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh etika jurnalisme pada masa ini.
Menurut Wrd. Etika tradisional yang dulu dominan dan dibangun untuk jurnaslisme professional satu abad silam, jinni dipertanyakan. Etika jurnalisme menjadi ajang dimana nilai-nilai lama berhadapan dengan nilai-nilai baru. Di satu sisi ada nilai-nilai tradisional seperti yang terkandung dalam kode etik organisasi jurnalis seperti Society of Proffesional Journalist di Amerika Serikat. Di situ dicantumkan perihal suatu komitmen kepada profesionalisme, pemisahan berita dengan opini, metode untuk memverifikasi fakta, concern mengenai akurasi, objektivitas sebagai ideal dan meminimalisasi kecederaan.
Di sisi lain. Jurnalisme masa kini mencerminkan adanya nilai-nilai baru seperti kemestaan media interaktif (universe interactive media) yang “always on” dan dicirikan oleh:
- Kesegeraan
- Transparansi
- Anonimitas
- Saling berbagi konten
Kecepatan media baru dalam menyiarkan informasi telah menggoda banyak penggunanya untuk mengabaikan metode pembatasan akurasi dan verifikasi yang merupakan esensi dari etika jurnalisme. Di samping itu, beberapa factor lain juga ikut menjadi penyebab. Salah satu alasan yang sering dikemukakan umumnya menyangkut situasi dan krisis finansial yang dihadapi oleh perusahaan media sebagai imbas dari kondisi perekonomian global yang mengalami krisis. Kata Jim Boumrlha, Presiden international Federation of Journalist, krisis tersebut, telah menggulung media di Eropa dan Amerika, yang lantas menyulut perubahan besar dalam jurnalisme.
Suatu generasi pemilik media telah menciutkan anggaran menghilangkan ruang berita dan menutup biro luar negeri media, menyusutkan bukan hanya bagian redaksi, tapi juga seksi-seksi dan berita. Banyak dari mereka yang percaya bahwa jurnalisme yang beretika dan berstandar tinggi merupakan konsep yang ketinggalan zaman yang telah lama diambil alih oleh tujuan finansial dan komersial. Pemicu uatamanya adalah perkembangan teknologi komunikasi yang begitu pesat, lalu dijadikan alasan mengapa media mengalami perubahan dalam orientasi bisnisnya.
Media konvensional mengalami kesulitan finansial karena khalayak beralih ke media baru. Ini berarti pendapatan. Ini berarti pendapatan utama dari penjualan dan iklan menjadi berkurang drastis. Sehingga muncul pertanyaan “Apakah etika lantas menjadi using dan ditinggalkan oleh para pelaku jurnalisme?” yang dijawab oleh Ward “bahwa etika tidak akan pernah ditinggalkan. Sebab, setiap orang pada hakikatnya mengharapkan sesuatu yang mengacu dan mengandung nilai, bukan yang sembarangan yang hanya asal jadi.
Dan benarkah etika jurnalisme tidak sejalan dengan kemajuan/ industrialisasi pers? Memang ada yang berpendapat bahwa industrialisasi pers menyebabkan kerasnya persaingan sesame media dalam merebut pasar khalayak serta keuntungan komersial lainnya. Akibatnya media lantas melakukan apa saja termasuk melanggara etika jurnalisme demi tercapainya keuntungan dan target penghasilan perusahaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Karena itu segala cara seolah-oleh dibenarkan dan tidak lagi sungguh-sungguh mempertimbangkan aspekaspek etika jurnalisme yang tadinya amat diperhatikan. Tentulah alasan ini bukanlah alasan yang dapat diterima.
Persaingan bukan pembenaran untuk berbisnis semaunya. Justru dengan mempertahankan etika lah media syogyanya menajdi contoh yang benar baik untuk dirinya maupun bagi bidang aktivitas lainnya. Masih berkaitan dengan hal yang disebut diatas, benarkh seorang jurnalis menghadapi dilema antara beretika dan tuntutan pekerjaan. Hal ini telah menimbulkan mispersepsi di kalangan wartawan yang menyangka bahwa jika ia melakukan tugas jurnalistik dengan tetap berpedoman pada prinsip-prinsip etika jurnalisme maka ia akan menghadapi keterbatasan dan ruang gerak dan lahan kreativitas.
Padahal bila ditilik dengan seksama, etika jurnalisme sama sekali bukan dimaksudkan dengan rektriksi yang akan mempersempit peluang untuk berkarya dan berkreativitas. Sejak semula etik dimaksudkan sebagai suatu panduan atau koridor yang menuntun agar segala aktivias yang dilakukan tetap sejalan dengan nilai-nilai dan norma masyarakat. Memang ada sebagaian wartawan yang berpandangan keliru, seakan-akan etika jurnalisme merupakan bagian dari pengurangan kemerdekaan pers. Pandangan ini terutama dipengaruhi oleh sikap sementara jurnalis yang ingin bebas sebebasnya. Mereka itu mengartikan kemerdekaan pers sebagai kebebasan yang mutlak, tanpa batasan apapun. Tentu cara seperti ini perlu ditinjau dan diluruskan.
Agar hubungan yang berlagsung dengan semua pihak tetap sehat, maka pengemban profesi jurnalisme harus terus menerus meyakinkan masyarakat bahwa 39 mereka telah melaksanakan profesinya dengan tetap menaati consensus bersama tentang kepercayaan, peran, dan hubungan etis Antara kedua belah pihak. Seberat apapun tantangan yang dihadapi, satu hal yang pasti bahwa jurnalisme harus menjunjung tinggi dan mempraktikkan etika. Seberat apapun tantangan yang dihadapi, satu hal yang pasti bahwa jurnalisme harus tetap menjunjung tinggi dan mempraktikkan etika.
Presiden International Federation of Journalist, Jim Boumelha menegaskan bahwa: “Ini merupakan penyemangat (encouragement) bagi mereka yang siap untuk menegakkan jurnalisme dan konfirmasi, di abad konvergensi ini media tradisional dan media baru, bahwa jurnalisme sebagai suatu public good tidak akan survive pada platform mana pun tanpa komitmen pada etika dan nilai-nilai.