Menanti Hasil Kerja Kita
“Mau gajian bulan ini? Ya maulah. Mau dapat bonus?
Mau. Kerja dong yang bener!” Sepertinya tidak cocok ya kalimat itu dikatakan
kepada orang dewasa seperti kita. Kalau anak kecil ditanya begitu masih wajar.
Tapi kalau orang dewasa? Kemungkinan orang yang bertanyanya saja yang tidak
tahu tata karma. Tidak sopan sama sekali. Itu kalau kita memandang ‘ujungnya’.
Tapi kalau kita memandang ‘pangkalnya’, maka kita akan bisa memahami alasan
mengapa ada orang yang sampai bertanya seperti itu. Kata orang, zaman sekarang
ini banyak sekali manusia yang kepingin mendapatkan gaji besar, tapi kerjanya
asal-asalan. Maunya kerja gampang. Susah sedikit sudah mengeluh ini dan itu. Sulit
sedikit sudah ribut begitu dan begini. Makanya, sulit mengharapkan mereka bisa
bekerja dengan standar yang seharusnya hingga tuntas. Apa benar begitu ya?
Mau. Kerja dong yang bener!” Sepertinya tidak cocok ya kalimat itu dikatakan
kepada orang dewasa seperti kita. Kalau anak kecil ditanya begitu masih wajar.
Tapi kalau orang dewasa? Kemungkinan orang yang bertanyanya saja yang tidak
tahu tata karma. Tidak sopan sama sekali. Itu kalau kita memandang ‘ujungnya’.
Tapi kalau kita memandang ‘pangkalnya’, maka kita akan bisa memahami alasan
mengapa ada orang yang sampai bertanya seperti itu. Kata orang, zaman sekarang
ini banyak sekali manusia yang kepingin mendapatkan gaji besar, tapi kerjanya
asal-asalan. Maunya kerja gampang. Susah sedikit sudah mengeluh ini dan itu. Sulit
sedikit sudah ribut begitu dan begini. Makanya, sulit mengharapkan mereka bisa
bekerja dengan standar yang seharusnya hingga tuntas. Apa benar begitu ya?
Sebenarnya, sikap dan perilaku kerja yang kurang
rajin itu sudah terjadi sejak zaman dahulu kala. Hanya saja, zaman sekarang mungkin
kita lebih mudah saja mengkomunikasikannya. Makanya orang tua kita sudah sejak
dulu mengajarkan tentang etika dalam bekerja. Jangan sampai mau enaknya saja,
katanya. Di tatar Sunda, pelajaran moral
seperti itu antara lain dikisahkan dalam dongeng Kabayan. Si Kabayan ini digambarkan
sebagai tokoh yang malasnya minta ampun. Mau dapat hasilnya, tapi tidak mau
mengusahakannya. Kalau pada akhirnya mau juga bekerja, tapi kerjanya ya
asal-asalan saja.
rajin itu sudah terjadi sejak zaman dahulu kala. Hanya saja, zaman sekarang mungkin
kita lebih mudah saja mengkomunikasikannya. Makanya orang tua kita sudah sejak
dulu mengajarkan tentang etika dalam bekerja. Jangan sampai mau enaknya saja,
katanya. Di tatar Sunda, pelajaran moral
seperti itu antara lain dikisahkan dalam dongeng Kabayan. Si Kabayan ini digambarkan
sebagai tokoh yang malasnya minta ampun. Mau dapat hasilnya, tapi tidak mau
mengusahakannya. Kalau pada akhirnya mau juga bekerja, tapi kerjanya ya
asal-asalan saja.
Kalau saya perhatikan, di tatar Sunda itu cukup
banyak orang yang mau enaknya saja. Ingin terima hasilnya. Tapi jerih payahnya
ogah. Waktu saya pergi ke daerah lain, ternyata disana juga banyak yang begitu.
Ketika bertugas di tempat lainnya lagi, saya menemukan juga orang-orang yang
seperti itu. Saat mengamati perilaku orang didunia kerja, saya lebih banyak
lagi menemukan orang-orang yang tidak berkomitmen terhadap pekerjaannya, namun
selalu menuntut untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Semakin modern zaman
kita, rupanya semakin banyak yang perilaku kerjanya seperti si Kabayan. Tidak
hanya ditatar Sunda ternyata. Dimana pun selalu bisa kita temui orang-orang
yang malas bekerja seperti si Kabayan. Jika ada orang yang mengamati keseharian
kerja saya, mungkin orang itu juga bisa menemukan sifat malas si Kabayan
didalam diri saya. Siapa tahu, kan? Di dalam diri Anda? Saya tidak berani
berkata apa-apa.
banyak orang yang mau enaknya saja. Ingin terima hasilnya. Tapi jerih payahnya
ogah. Waktu saya pergi ke daerah lain, ternyata disana juga banyak yang begitu.
Ketika bertugas di tempat lainnya lagi, saya menemukan juga orang-orang yang
seperti itu. Saat mengamati perilaku orang didunia kerja, saya lebih banyak
lagi menemukan orang-orang yang tidak berkomitmen terhadap pekerjaannya, namun
selalu menuntut untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Semakin modern zaman
kita, rupanya semakin banyak yang perilaku kerjanya seperti si Kabayan. Tidak
hanya ditatar Sunda ternyata. Dimana pun selalu bisa kita temui orang-orang
yang malas bekerja seperti si Kabayan. Jika ada orang yang mengamati keseharian
kerja saya, mungkin orang itu juga bisa menemukan sifat malas si Kabayan
didalam diri saya. Siapa tahu, kan? Di dalam diri Anda? Saya tidak berani
berkata apa-apa.
Sekarang, saya paham. Mengapa zaman dahulu para sepuh
tatar Sunda tidak bosan-bosannya mengingatkan generasi muda agar tidak meniru
kemalasan si Kabayan. Misalnya, melalui kisah ketika si Kabayan disuruh memetik
buah nangka oleh Ibu mertuanya. Boleh ya saya ceritakan kembali? Dengan cara
saya sendiri, dan menggunakan bahasa Indonesia tentu saja.
tatar Sunda tidak bosan-bosannya mengingatkan generasi muda agar tidak meniru
kemalasan si Kabayan. Misalnya, melalui kisah ketika si Kabayan disuruh memetik
buah nangka oleh Ibu mertuanya. Boleh ya saya ceritakan kembali? Dengan cara
saya sendiri, dan menggunakan bahasa Indonesia tentu saja.
Si Kabayan yang gemar memakan buah berasa manis itu
heran, kenapa mertuanya tidak lagi menyuguhi buah nangka pagi ini. Rasa
penasaran mendorongnya untuk bertanya. Lalu, tahulah dia alasannya. Persediaan
buah nangka di rumah mertuanya sudah tidak bersisa. “Kalau mau makan buah
nangka, kamu harus memetiknya dulu di kebun,” demikian kata mertuanya.
heran, kenapa mertuanya tidak lagi menyuguhi buah nangka pagi ini. Rasa
penasaran mendorongnya untuk bertanya. Lalu, tahulah dia alasannya. Persediaan
buah nangka di rumah mertuanya sudah tidak bersisa. “Kalau mau makan buah
nangka, kamu harus memetiknya dulu di kebun,” demikian kata mertuanya.
“Kenapa mesti dipetik atuh Ambu, nangka teh?” jawab
si Kabayan. “Kan biasanya juga sudah ada diatas meja makan….” Maklum, selama ini dia hanya tinggal terima
hasilnya saja. Tidak mau kerjanya.
si Kabayan. “Kan biasanya juga sudah ada diatas meja makan….” Maklum, selama ini dia hanya tinggal terima
hasilnya saja. Tidak mau kerjanya.
“Iya sekarang giliran kamu yang kerja,” kata Ibu
mertuanya.”Sana pergi ke kebun.” Perintahnya. “Petik nangka yang besar dan
sudah tua ya….”
mertuanya.”Sana pergi ke kebun.” Perintahnya. “Petik nangka yang besar dan
sudah tua ya….”
Akhirnya Kabayan pergi juga dengan gerutuan dan
gayanya yang malas-malasan. Sesampai di kebun, dia mencari-cari nangka yang
sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh Ibu mertuanya. Besar dan
sudah tua. Dapat tentu saja. Ada nangka yang besar. Dan sudah tua. Maka si
Kabayan pun memetiknya.
gayanya yang malas-malasan. Sesampai di kebun, dia mencari-cari nangka yang
sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh Ibu mertuanya. Besar dan
sudah tua. Dapat tentu saja. Ada nangka yang besar. Dan sudah tua. Maka si
Kabayan pun memetiknya.
Bedebum!
Buah nangka itu pun jatuh dari pohonnya. Dari bunyi
bedebumnya itu sudah bisa dibayangkan betapa beratnya dia. Kabayan segera turun
dari pohon lalu dilihatnya nangka besar dan tua itu tergolek di tanah. ‘Euleuh-euleuh
ini nangka meni segede ujubilah,’ gumam Kabayan. Sambil membayangkan betapa
berat dan susah payahnya jika mesti memanggulnya sampai ke rumah. Dia pun
memutar otaknya untuk mendapatkan jalan keluarnya. THING! Lampu di kepalanya
menyala. Dia sudah menemukan solusinya.
bedebumnya itu sudah bisa dibayangkan betapa beratnya dia. Kabayan segera turun
dari pohon lalu dilihatnya nangka besar dan tua itu tergolek di tanah. ‘Euleuh-euleuh
ini nangka meni segede ujubilah,’ gumam Kabayan. Sambil membayangkan betapa
berat dan susah payahnya jika mesti memanggulnya sampai ke rumah. Dia pun
memutar otaknya untuk mendapatkan jalan keluarnya. THING! Lampu di kepalanya
menyala. Dia sudah menemukan solusinya.
Maka si Kabayan pun menyeret nangka itu ke pinggir
sungai untuk dihanyutkan. Kepadanya, si Kabayan berpesan; “Kamu pulang saja duluan
ke rumah Ambu,” katanya. “Ingat ya, jangan mampir-mampir dulu. Ambu sudah
nungguin kamu!” Maka buah nangka itu pun memulai perjalanan pulangnya.
sungai untuk dihanyutkan. Kepadanya, si Kabayan berpesan; “Kamu pulang saja duluan
ke rumah Ambu,” katanya. “Ingat ya, jangan mampir-mampir dulu. Ambu sudah
nungguin kamu!” Maka buah nangka itu pun memulai perjalanan pulangnya.
Setelah itu, si Kabayan pun bergegas pulang ke
rumahnya. Sesampainya di rumah, Ibu Mertuanya bertanya; “Mana buah nangkanya,
Kabayan?” katanya. “Bukankah seharian ini kamu pergi ke kebun untuk memetik
nangka?”
rumahnya. Sesampainya di rumah, Ibu Mertuanya bertanya; “Mana buah nangkanya,
Kabayan?” katanya. “Bukankah seharian ini kamu pergi ke kebun untuk memetik
nangka?”
“Loh, belum sampai kerumah nangkanya Ambu?” si
Kabayan malah balik bertanya.
Kabayan malah balik bertanya.
“Bagaimana mau sampai, kalau kamunya sendiri baru
sampai?” balas Ibu Mertuanya. “Kamu itu sebenarnya jadi memetik buah nangka apa
tidak?”
sampai?” balas Ibu Mertuanya. “Kamu itu sebenarnya jadi memetik buah nangka apa
tidak?”
“Ooooh, tentu saja Ambu. Saya kan menantu yang giat
bekerja.” Jawabnya.
bekerja.” Jawabnya.
“Ya terus mana nangkanya?” Tanya mertuanya.
“Itulah Ambu, saya juga bingung.” Balasnya sambil
garuk-garuk kepala. “Kenapa jam segini eta si nangka teh belum juga sampai ke
rumah….”
garuk-garuk kepala. “Kenapa jam segini eta si nangka teh belum juga sampai ke
rumah….”
“Lah, kebanyakan alesan.” Jawab ibu mertuanya. “Dasar
kamu itu hanya mau enaknya saja!” tambahnya.
kamu itu hanya mau enaknya saja!” tambahnya.
Tentu saja Kabayan protes. “Bener Ambu, saya tadi
ke kebun memetik nangka besar dan sudah tua…” katanya.
ke kebun memetik nangka besar dan sudah tua…” katanya.
“Iya tapi mana nangkanya?” ibu mertuanya tidak juga
percaya.
percaya.
“Tadi teh sama Kabayan dihanyutkan di sungai…”
jawab Kabayan.
jawab Kabayan.
“Kabayaaaan, Kabayan…” kata ibu mertuanya. “Mana
bisa nangka itu sampai di rumah kalau kamu hanyutkan di sungai?”
bisa nangka itu sampai di rumah kalau kamu hanyutkan di sungai?”
“Ya bisa atuh Ambu,” jawab si Kabayan. “Kan nangkanya
sudah tua. Masa sih tidak tahu caranya sampai ke rumah Ambu….”
sudah tua. Masa sih tidak tahu caranya sampai ke rumah Ambu….”
Seperti cerita rakyat dari daerah lainnya, sebagai
tokoh utama, si Kabayan itu adalah tokoh rekaan. Sebuah cara cerdas para sepuh
menasihati generasi mudanya. Dibalik kisah-kisah jenakanya yang terkesan absurd
itu tersimpan pesan moral yang mampu menembus batas-batas zaman, dan melintasi rintangan-rintangan
zona wilayah. Kisahnya ketika memetik buah nangka ini misalnya. Sangat relevan untuk
menjadi bahan renungan kita. Pesannya jelas sekali, jika ingin mendapatkan
hasil seperti yang kita inginkan; maka kita harus mau menyelesaikan pekerjaan
kita hingga tuntas. Semakin banyak hasil
yang kita inginkan, mesti semakin rajin, dan semakin gigih kita dalam
menuntaskan setiap penugasan. Hal ini sejalan dengan firman Tuhan dalam surah 94
(Alam Nasyrah) ayat 7 ; “Maka jika Engkau sudah menuntaskan suatu
pekerjaan, tetaplah bekerja untuk menuntaskan pekerjaan yang lainnya”.
tokoh utama, si Kabayan itu adalah tokoh rekaan. Sebuah cara cerdas para sepuh
menasihati generasi mudanya. Dibalik kisah-kisah jenakanya yang terkesan absurd
itu tersimpan pesan moral yang mampu menembus batas-batas zaman, dan melintasi rintangan-rintangan
zona wilayah. Kisahnya ketika memetik buah nangka ini misalnya. Sangat relevan untuk
menjadi bahan renungan kita. Pesannya jelas sekali, jika ingin mendapatkan
hasil seperti yang kita inginkan; maka kita harus mau menyelesaikan pekerjaan
kita hingga tuntas. Semakin banyak hasil
yang kita inginkan, mesti semakin rajin, dan semakin gigih kita dalam
menuntaskan setiap penugasan. Hal ini sejalan dengan firman Tuhan dalam surah 94
(Alam Nasyrah) ayat 7 ; “Maka jika Engkau sudah menuntaskan suatu
pekerjaan, tetaplah bekerja untuk menuntaskan pekerjaan yang lainnya”.
Memang, ada kalanya sudah gigih pun hasilnya belum
juga sesuai harapan. Namun kegigihan kita, memberi peluang yang lebih besar
untuk mencapainya. “Dan hanya kepada Tuhanmu, hendaknya Engkau menggantungkan harapan….” Demikian
kelanjutan firman itu dalam ayat selanjutnya. Maka ketika kita giat bekerja. Gigih
menutaskan setiap pekerjaan, kelak Allah akan melunakan hati para pengambil keputusan
untuk memberi kita imbalan yang sepadan. Kenyataannya kan demikian. Kepada orang-orang
yang berkinerja tinggi, biasanya para pemilik usaha atau pengambil keputusan
itu sayang sekali. Tuhan telah melunakkan hati mereka.
juga sesuai harapan. Namun kegigihan kita, memberi peluang yang lebih besar
untuk mencapainya. “Dan hanya kepada Tuhanmu, hendaknya Engkau menggantungkan harapan….” Demikian
kelanjutan firman itu dalam ayat selanjutnya. Maka ketika kita giat bekerja. Gigih
menutaskan setiap pekerjaan, kelak Allah akan melunakan hati para pengambil keputusan
untuk memberi kita imbalan yang sepadan. Kenyataannya kan demikian. Kepada orang-orang
yang berkinerja tinggi, biasanya para pemilik usaha atau pengambil keputusan
itu sayang sekali. Tuhan telah melunakkan hati mereka.
Tapi jika mereka tetap saja tidak mau berbaik hati?
Tenang saja, Tuhan punya banyak cara untuk menghargai setiap pribadi yang
berkualitas tinggi. Jika kita benar-benar tangguh dan bersungguh-sunguh, pada
saatnya kelak Tuhan akan membukakan jalan yang lebih baik. Dan lebih tepat
untuk kita tempuh. Namun sebelum itu, ayo kita membiasakan diri untuk bekerja
hingga tuntas terlebih dahulu. Setelah itu, kita serahkan dampaknya, kepada Sang
Maha Bijak. Insya Allah, hasil yang kita nanti-nantikan itu pada akhirnya akan
datang juga.
Tenang saja, Tuhan punya banyak cara untuk menghargai setiap pribadi yang
berkualitas tinggi. Jika kita benar-benar tangguh dan bersungguh-sunguh, pada
saatnya kelak Tuhan akan membukakan jalan yang lebih baik. Dan lebih tepat
untuk kita tempuh. Namun sebelum itu, ayo kita membiasakan diri untuk bekerja
hingga tuntas terlebih dahulu. Setelah itu, kita serahkan dampaknya, kepada Sang
Maha Bijak. Insya Allah, hasil yang kita nanti-nantikan itu pada akhirnya akan
datang juga.
Salam hormat,
Mari Berbagi
Semangat!
Semangat!
Dadang Kadarusman
No comments yet! You be the first to comment.